![]() | Today | 113 |
![]() | Yesterday | 507 |
![]() | This week | 113 |
![]() | Last week | 4733 |
![]() | This month | 10324 |
![]() | Last month | 38135 |
![]() | All days | 933572 |
Perhitungan Harga Kakao dan Kemiskinan |
JAKARTA-KAKAO INDONESIA. Para ekonom mainstream beranggapan harga produk ditentukan oleh makanisme pasar. Jadi ketika harga biji kakao berada di tingkat Rp. 23 ribu, maka itu semata-mata diakibatkan berlakunya hukum supply demand. Namun adakalanya harga pasar tersebut tidak membatasi buyer kakao premium untuk membeli kakao fermentasi dari sumber yang sama dengan harga lebih tinggi dan berbeda. Harga adakalanya ditentukan persepsi manusia. Sebuah artefak yang seolah-olah tidak bernilai dapat melonjak harganya menjadi puluhan juta rupiah di mata seseorang pencinta barang seni. Sementara itu dalam kenyataan sehari-hari, produsen tertentu dapat menetapkatkan harga bersama. Lalu konsumen menerima begitu saja harga kesepakatan tersebut sebagai harga pasar. Para ekonom saat ini mulai menyadari dimensi lain dari harga produk. Permainan pasar dapat saja membentuk harga “rasional” dianggap harga yang wajar. Namun tingkat harga tersebut dapat menimbulkan banyak hal, eksploitasi manusia dan alam. Saat ini banyak harga-harga produk industri yang belum memuat perhitungan dampak eksternalitas. Bahwa dalam harga tersebut tercermin cost yang dikeluarkan untuk digunakan mengurangi efek negatif dari kerusakan lingkungan. Sementara dalam pertanian ada dimensi yang hilang dalam penetapan harga yakni aspek keberlanjutan. Artinya harga tersebut seringkali tidak mengakomodir hasrat petani untuk hidup sejahtera. Hal yang sama terjadi pada kakao. Apa alasan petani kakao menanam kakao? Agar bisa hidup. Supaya dari kebunnya ia bisa menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Sementara mengapa seorang pengusaha mendirikan industri cokelat? Jelas tidak sekedar agar “hidup” namun agar sejahtera, menikmati kemewahan dan bisa memiliki rumah yang mewah. Maka seorang pengusaha akan menghitung seluruh cost, biaya produksi seperti bahan baku, tenaga kerja dan ia juga memasukkan biaya promosi, riset, pengembangan SDM, biaya lobi-lobi dalam perhitungan biaya. Selanjutnya ia memasukkan keuntungan yang menggambarkan pendapatan yang berhak ia peroleh sebagai innovator atau founder. Sehingga ia akan berusaha menjual cokelat yang mungkin HPP hanya sekitar Rp. 30 ribu seharga Rp. 100 ribu. Lalu bagaimana dengan petani? Mungkin orientasinya lebih sederhana. Selama harga itu bisa membuatnya hidup maka ia akan terus berkebun. Seperti ketika harga kakao hanya Rp. 25 ribu, petani tetap saja menjual dan merawat kebunnya. Menurutnya harga itu masih sangat wajar. Apalagi petani menganggap tidak mengeluarkan biaya apa-apa. Faktanya ia lupa menghitung biaya tenaga kerjanya dan biaya lain-lain, seperti promosi, asuransi kesehatan, biaya kebutuhan sehari-hari. Ini tidak diperhitungan sehingga pada akhirnya harga yang menurutnya wajar membuatnya tidak kaya raya. Dalam kaitan pengembangan sistem perkebunan kakao yang berkelanjutan petani tidak hanya cukup diajarkan cara berkebun yang baik, lalu pada saat produksinya membaiknya diujung para buyer berusaha membeli dengan harga murah atau kalau perlu dalam bentuk biji basah. Petani harus diajarkan menghitung harga wajar yang harus ia dapatkan jika usahanya ingin berkelanjutan. Inilah yang harus diajarkan. Menariknya pemerintah juga tidak pernah memiliki ide untuk menghitung harga yang wajar dari produk perkebunan. Barangkali ini juga tugas para pakar membuat perhitungan harga berkelanjutan minimal atau dengan kata lain harga dasar. Dimana harga dasar tidak hanya memperhitungkan penghasilan yang cukup bagi petani untuk hidup melainkan juga memperhitungkan keberlanjutan usaha perkebunan kakao. Disana harus memperhitungkan biaya asuransi, investasi SDM, pemeliharaan kebun yang baik untuk pelestarian lingkungan. Bisa jadi angka itu berada di angka Rp. 29 ribu atau Rp. 30 ribu. Petani harus diajarkan soal harga tersebut, jangan sampai ia merasa harga paling wajar adalah diangka Rp. 12 ribu pada saat ia tidak lagi untung melainkan mengsubsidi industry dengan tenaganya. Tentu ini harus dipikirkan. Tanpa itu, kemungkinan yang terjadi adalah petani kakao akan tetap miskin sehingga kelak anak-anaknya malu berkebun kakao, sehingga kebun itu mungkin akan beralih fungsi. Atau petani terlalu miskin sehingga pada akhirnya ia akan mengganti profesi atau mengelola kebun secara tidak sustainable. Jika itu terjadi maka perkebunan kakao merosot luasannya, produksi nasional atau global “terjun payung” dan akhirnya basis perekonomian kakao atau cokelat akan bergejolak dengan sendiri. Saat itu terjadi semua pihak akan menikmati kerugiannya. Penulis: Hendra Sipayung (Founder Komunitas Kakao Indonesia) |
Comments
RSS feed for comments to this post